Kamis, 10 Mei 2012

Perkembangan CyberCrime Di Indonesia

Kebutuhan akan teknologi Jaringan Komputer semakin meningkat. Selain sebagai media penyedia informasi, melalui Internet pula kegiatan komunitas komersial menjadi bagian terbesar, dan terpesat pertumbuhannya serta menembus berbagai batas negara. Bahkan melalui jaringan ini kegiatan pasar di dunia bisa diketahui selama 24 jam. Melalui dunia internet atau disebut juga cyberspace, apapun dapat dilakukan. Segi positif dari dunia maya ini tentu saja menambah trend perkembangan teknologi dunia dengan segala bentuk kreatifitas manusia. Namun dampak negatif pun tidak bisa dihindari. Tatkala pornografi marak di media Internet, masyarakat pun tak bisa berbuat banyak.

Kejahatan dunia maya (Inggris: cybercrime) adalah istilah yang mengacu kepada aktivitas kejahatan dengan komputer atau jaringan komputer menjadi alat, sasaran atau tempat terjadinya kejahatan. Termasuk ke dalam kejahatan dunia maya antara lain adalah penipuan lelang secara online, pemalsuan cek, penipuan kartu kredit/carding, confidence fraud, penipuan identitas, pornografi anak, dan lain-lain. Cybercrime adalah tindak criminal yang dilakukan dengan menggunakan teknologi computer sebagai alat kejahatan utama. Cybercrime merupakan kejahatan yang memanfaatkan perkembangan teknologi computer khusunya internet. Cybercrime didefinisikan sebagai perbuatan melanggar hukum yang memanfaatkan teknologi computer yang berbasasis pada kecanggihan perkembangan teknologi internet.

Perkembangan dan contoh Cybercrime

Dengan perkembangan teknologi atau globalisasi dibidang teknologi informasi dan komunikasi pada saat ini cyber crime akan sangat meningkat. Banyak sekali contoh Cybercrime yang telah terjadi seperti penipuan penjualan barang melalui on line, penipuan kartu kredit, pornografi, dan lain-lain. Munculnya kejahatan yang disebut dengan “CyberCrime” atau kejahatan melalui jaringan Internet berbanding lurus dengan Perkembangan teknologi Internet. Munculnya beberapa kasus “CyberCrime” di Indonesia, seperti pencurian kartu kredit, hacking beberapa situs, menyadap transmisi data orang lain, misalnya email, dan memanipulasi data dengan cara menyiapkan perintah yang tidak dikehendaki ke dalam programmer komputer. Sehingga dalam kejahatan komputer dimungkinkan adanya delik formil dan delik materil. Delik formil adalah perbuatan seseorang yang memasuki komputer orang lain tanpa ijin, sedangkan delik materil adalah perbuatan yang menimbulkan akibat kerugian bagi orang lain (berdasarkan makalah Pengamanan Aplikasi Komputer Dalam Sistem Perbankan dan Aspek Penyelidikan dan Tindak Pidana). Adanya CyberCrime telah menjadi ancaman stabilitas, sehingga pemerintah sulit mengimbangi teknik kejahatan yang dilakukan dengan teknologi komputer, khususnya jaringan internet dan intranet.

Bahkan belum lama ini beredar berita tertangkapnya pelaku penipuan yang mengguna media online sebagai alat untuk melakukan penipuan. Pelaku memanfaatkan media pertemanan facebook sebagai alat untuk mencari mangsa sebagai korban penipuan. Contoh lain cyber crime yang terjadi adalah membuat suatu program jahat yang digunakan untuk mendapatkan hak akses untuk memasuki/ menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, dan tanpa sepengetahuan dari pemilik. Kejahatan seperi ini kerap muncul seperti di facebook yaitu dengan menggunakan cara memberikan link kepada pengguna yang menginformasikan bahwa link tersebut sangat bermanfaat bagi pengguna seperti aplikasi berbentuk link tidak dikenal padahal pada saat anda meng klik link tersebut maka program jahat akan langsung menjalankan program dimana program tersebut dapat mengambil data pribadi anda seperti password serta akan mengirimkan link tersebut kepada teman anda untuk mencari korban lainnya. Kejahatan seperti peniruan web page penggunaan software bajakan adalah contoh lain dari Cyber Crime. Kejahatan seperti dapat dikategorikan ”Offense against Intellectual Property” berdasarkan jenis aktivitasnya.

Cybercrime diklasifikasikan :

  1. Cyberpiracy : Penggunaan teknologi computer untuk mencetak ulang software atau informasi, lalu mendistribusikan informasi atau software tersebut lewat teknologi komputer.
  2. Cybertrespass : Penggunaan teknologi computer untuk meningkatkan akses pada system computer suatu organisasi atau indifidu.
  3. Cybervandalism : Penggunaan teknologi computer untuk membuat program yang menganggu proses transmisi elektronik, dan menghancurkan data dikomputer.

Jenis-jenis cybercrime berdasarkan jenis aktivitasnya :

  1. Unauthorized Access to Computer System and Service
  2. Illegal Contents
  3. Data Forgery
  4. Cyber Espionage
  5. Cyber Sabotage and Extortion
  6. Offense against Intellectual Property
  7. Infringements of Privacy
  8. Cracking
  9. Carding

Mengacu pada kasus – kasus CyberCrime yang tercatat banyakk terjadi oleh National Consumer League (NCL) dari Amerika yang cepat atau lambat menular ke Indonesia, sebagai berikut :

  1. Penipuan Lelang On-line

  • Cirinya harga sangat rendah (hingga sering sulit dipercayai) untuk produk – produk yang diminati, penjual tidak menyediakan nomor telepon, tidak ada respon terhadap pertanyaan melalui email, menjanjikan produk yang sedang tidak tersedia.
  • Resiko Terburuk adalah pemenang lelang mengirimkan cek atau uang, dan tidak memperoleh produk atau berbeda dengan produk yang diiklankan dan diinginkan.
  • Teknik Pengamanan yang disarankan adalah menggunakan agen penampungan pembayaran (escrow accounts services) seperti www.escrow.com dengan biaya sekitar 5% dari harga produk. Agen ini akan menyimpan uang Pembeli terlebih dahulu dan mengirimkannya ke Penjual hanya setelah ada konfirmasi dari Pembeli bahwa barang telah diterima dalam kondisi yang memuaskan.

2. Penipuan Saham On-line

a. Cirinya tiba – tiba Saham Perusahaan meroket tanpa info pendukung yang cukup.

b. Resiko Terburuk adalah tidak ada nilai riil yang mendekati harga saham tersebut, kehilangan

seluruh jumlah investasi dengan sedikit atau tanpa kesempatan untuk menutup kerugian yang

terjadi.

c. Teknik Pengamanan antara lain www.stockdetective.com punya daftar negatif saham – saham.

3. Penipuan Pemasaran Berjenjang On-line

a. Berciri mencari keuntungan dari merekrut anggota, menjual produk atau layanan secara fiktif.

b. Resiko Terburuk adalah ternyata 98% dari investor yang gagal.

c. Teknik Pengamanan yang disarankan adalah jika menerima junk mail dengan janji yang bom-

bastis, lupakan saja dan hapuslah pesan itu.

4. Penipuan Kartu Kredit (kini sudah menular di Indonesia)

a. Berciri, terjadinya biaya misterius pada tagihan kartu kredit untuk produk atau layanan

Internet yang tidak pernah dipesan oleh kita.

b. Resiko Terburuk adalah korban bisa perlu waktu yang lama untuk melunasinya.

c. Teknik Pengamanan yang disarankan antara lain gunakan mata uang Beenz untuk transaksi

online, atau jasa Escrow, atau jasa Transfer Antar Bank, atau jasa Kirim Uang Western

Union, atau pilih hanya situs – situs terkemuka saja yang telah menggunakan Payment Security

seperti VeriSign.

Untuk menindak lanjuti CyberCrime tentu saja diperlukan CyberLaw (Undang – undang khusus dunia Cyber/Internet). Selama ini landasan hukum CyberCrime yang di Indonesia menggunakan KUHP (pasal 362) dan ancaman hukumannya dikategorikan sebagai kejahatan ringan, padahal dampak yang ditimbulkan bisa berakibat sangat fatal. Indonesia dibandingkan dengan USA, Singapura, bahkan Malaysia memang cukup ketinggalan dalam masalah CyberLaw ini. Contohnya Singapura telah memiliki The Electronic Act 1998 (UU tentang transaksi secara elektronik), serta Electronic Communication Privacy Act (ECPA), kemudian AS mempunyai Communication Assistance For Law Enforcement Act dan Telecommunication Service 1996.

Faktor lain yang menyebabkan ketertinggalan Indonesia dalam menerapkan CyberLaw ini adalah adanya ke-strikean sikap pemerintah terhadap media massa yang ternyata cukup membawa pengaruh bagi perkembangan CyberLaw di Indonesia. Sikap pemerintah yang memandang minor terhadap perkembangan internal saat ini, telah cukup memberikan dampak negatif terhadap berlakunya CyberLaw di Indonesia. Kita lihat saja saat ini, apabila pemerintah menemukan CyberCrime di Indonesia, maka mereka “terpaksa” mengkaitkan CyberCrime tersebut dengan hukum yang ada, sebut saja KUHP, yang ternyata bukanlah hukum yang pantas untuk sebuah kejahatan yang dilakukan di CyberSpace. Akhirnya pemerintah, dalam hal ini POLRI, sampai saat ini ujung – ujungnya lari ke CyberLaw Internasional yang notabene berasal dari AS.

Berdasarkan sikap pemerintah diatas, menurut RM. Roy Suryo, pada waktu dulu selalu saja menganaktirikan Informasi yang berasal dari Internet. Bagi pemerintah, internet tersebut lebih banyak memberikan mudharat dari pada manfaatnya. Sehingga, image internet itu sendiri di masyarakat lebih terasosi sebagai media pornografi. Padahal di negara – negara maju, sebut saja USA, Singapura, dan Malaysia, mereka telah dapat memposisikan internet sebagai salah satu pilar demokrasi di negaranya, bahkan untuk Malaysia dan Singapura, mereka benar – benar memanfaatkan internet sebagai konsep Visi Infrastruktur Teknologi mereka. Meskipun demikian, Indonesia ternyata juga memiliki konsep yang serupa dengan hal yang disebut diatas, yaitu Nusantara 21, akan tetapi muncul kerancuan dan kebingungan masyarakat terhadap kontradiksi sikap pemerintah tersebut, sehingga masyarakat menjadi tidak percaya atau ragu – ragu terhadap fasilitas yang terdapat di internet. Hal ini merupakan faktor tambahan kenapa Indonesia cukup ketinggalan dalam menerapkan CyberLaw. Adanya masa kekosongan CyberLaw ini di Indonesia, tentu saja membuat para hacker merasa leluasa untuk bertindak semaunya di CyberSpace, untuk mengantisipasi tindakan tersebut, saat ini para pakar teknologi kita seperti RM. Roy Suryo dan Onno W. Purbo bekerja sama dengan berbagai pihak, baik dari pemerinta maupun swasta, membuat rancangan CyberLaw. Mengenai rancangan CyberLaw ini, mengingat bahwa karakter CyberSpace selalu berubah cepat dan bersifat global, sehingga bentuk CyberCrime dimasa depan sangat sulit diramalkan. RM. Roy Suryo berpendapat sejak dulu bahwa sejak dulu piranti hukum selalu ketinggalan dengan teknologinya, sehingga dalam CyberLaw ini nantinya akan terdapat beberapa pasal yang bersifat terbuka, artinya selain pasal – pasal tersebut bisa diamandemen, juga dapat dianalogikan terhadap hal – hal yang bersifat global.

Landasan Hukum CyberCrime di Indonesia, adalah KUHP (pasal 362) dan ancaman hukumannya dikategorikan sebagai kejahatan ringan, padahal dampak yang ditimbulkan oleh CyberCrime bisa berakibat sangat fatal. Beberapa indikator penyalahgunaan sarana dan prasarana di Internet, antara lain :

1. Menjamurnya warnet hampir setiap propinsi di tanah air yang dapat digunakan sebagai fasilitas

untuk melakukan tindak kejahatan CyberCrime, disebabkan tidak tertibnnya sistem administrasi

dan penggunaan Internet Protocol/IP Dinamis yang sangat bervariatif.

2. ISP (Internet Service Provider) yang belum mencabut nomor telepon pemanggil yang meng -

gunakan Internet.

3. LAN (Local Area Network) yang mengakses Internet secara bersamaan (sharing), namun

tidak mencatat dalam bentuk log file aktifitas dari masing – masing client jaringan.

4. Akses Internet menggunakan pulsa premium, dimana untuk melakukan akses ke Internet, tidak

perlu tercatat sebagai pelanggan sebuah ISP.

Berbicara mengenai tindak kejahatan (Crime), tidak terlepas dari lima faktor yang terkait, antara lain karena adanya pelaku kejahatan, modus kejahatan, korban kejahatan, reaksi sosial atas kejahatan, dan hukum. Berdasarkan beberapa pustaka, sebagian besar menyebutkan bahwa pelaku CyberCrime adalah para remaja yang berasal dari keluarga baik – baik, bahkan berotak encer. Hukum positif di Indonesia masih bersifat “lex loci delicti” yang mencakup wilayah, barang bukti, tempat atau fisik kejadian, serta tindakan fisik yang terjadi. Padahal kondisi pelanggaran yang mungkin terjadi di CyberSpace dapat dikatakan sangat bertentangan dengan hukum positif yang ada tersebut.

Dalam CyberCrime, pelaku tampaknya memiliki keunikan tersendiri, secara klasik kejahatan terbagi dua : Blue Collar Crime dan White Collar Crime. Pelaku Blue Collar Crime biasanya dideskripsikan memiliki stereotip, seperti dari kelas social bawah, kurang terdidik, berpenghasilan rendah, dsb. Sedangkan White Collar Crime, para pelaku digambarkan sebaliknya. Mereka memiliki penghasilan yang tinggi, berpendidikan, dsb. Untuk pelaku CyberCrime, pembagian teoritis demikian tampaknya kurang mengena lagi. Karena dipacu oleh perkembangan teknologi yang pesat, telah menghasilkan komunitas yang lebih kompleks. Dampak dari kehidupan yang semakin kompleks, telah memperlebar celah – celah kriminalitas, maka Polri harus sedini mungkin berperan secara aktif sebagai anggota masyarakat global Cyberspace. CyberPolice merupakan polisi yang dilatih dan ditugaskan untuk menangani kasus – kasus di dalam segala tindakan kriminal yang dilakukan di dunia maya CyberSpace. Andaikata CyberPolice tidak segera diwujudkan, maka semua kejahatan yang timbul di dunia CyberSpace tidak dapat dijangkau oleh Polri. Beberapa kasus penting yang pernah ditangani Polri dibidang CyberCrime adalah :

1. Cyber Smuggling, adalah laporan pengaduan dari US Custom (Pabean AS) adanya tindak penyelundupan via internet yang dilakukan oleh beberapa orang Indonesia, dimana oknum – oknum tersebut telah mendapat keuntungan dengan melakukan Webhosting gambar – gambar porno di beberapa perusahaan Webhosting yanga ada di Amerika Serikat.

2. Pemalsuan Kartu Kredit, adalah laporan pengaduan dari warga negara Jepang dan Perancis tentang tindak pemalsuan kartu kredit yang mereka miliki untuk keperluan transaksi di Internet.

3. Hacking Situs, adalah hacking beberpa situs, termasuk situs POLRI, yang pelakunya di identifikasikan ada di wilayah RI.

Sulitnya menciptakan peraturan – peraturan di CyberSpace, khususnya membuat CyberCrime Law, adalah disebabkan perubahan – perubahan radikal yang dibawa oleh revolusi teknologi informasi yang membalikkan paradigma – paradigma. Untuk membuat ketentuan hukum yang memadai di dunia maya. Tampaknya harus terpaksa rela menunggu revolusi mulai reda kiranya penting untuk belajar tentang bagaimana dahulu teknologi – teknologi massal mengawali kematangannya. Teknologi informasi dalam beberapa waktu yang akan datang tampaknya akan terus berubah dengan cepat untuk menuju tingkat kemapanannya sendiri. Selama dalam proses ini, masyarakat dunia maya sepertinya akan mampu menjadi masyarakat yang dapat melakukan pengaturan sendiri (self regulation). Kendati demikian, karena dampak CyberSpace sangat besar bagi kehidupan secara keseluruhan, campur tangan negara – negara yang sangat diperlukan, khusussnya dalam merancang CyberCrime Law.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar